INTUISI ANAK yang terbunuh
(Refleksi Perkuliahan Kedua Filsafat Ilmu Oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A)
Di sore yang cerah saya
sudah menunggu bersama teman-teman untuk mengikuti perkuliahan bersama Prof.
Dr. Marsigit, M.A. Akhirnya bapak professor hadir diperkuliahan untuk berbagi
olah pikir bersama kami para mahasiswa. Kegiatan perkuliahan diawali dengan
pertanyaan jawab singkat. Setelah selesai memberikan pertanyaan dan dinilai
maka mulailah masuk ke diskusi olah piker yang kami nantikan.
Pertama yang didiskusikan
adalah tentang sesuatu yang tidak dapat didefinisikan, meliputi: panjang,
pendek, besar, lurus, lengkung, cinta dan banyak lagi. Jika kami ditanya apa
itu pendek, apa itu lurus ternyata kami tidak bias menjawab. Nah, itulah yang
disebut pengetahuan yang dimengerti tetapi tidak dapat didefinisikan atau
disebut intuisi. Tetapi, pengetahuan
yang dimengerti dan dapat didefinisikan disebut formal, contohnya: matematika aksiomatik/matematika murni/matematika
perguruan tinggi, misalnya dalam menentukan bilangan prima maka perlu
dirumuskan definisi.
Hasil diskusi tersebut maka
terbuka pikiran saya bahwa “ada tak
berhingga pengetahuan saya yang aku mengerti tetapi aku tidak dapat
mendefinisikan dan hanya ada sedikit pengetahuan saya yang saya mengerti hanya
melalui definisi”. Berbicara masalah definisi, seorang professor
matematika nomor 1 di Indonesia beliau adalah Alm. Prof. Dr. RMGT. Suharso
pernah mengatakan bahwa “saya baru
menguasahi ilmu matematika sebesar 3% saja.” Maka walaupun seseorang itu telah dewasa
namun masih memiliki intuisi yang besar. Jadi sangatlah tidak mungkin jika
seseorang dalam hidupnya akan 100% mengandalkan definisi, karena ia akan
menjadi robot. Namun jika seseorang
dalam hidupnya selalu menggunakan definisi sebanyak 35 – 50% maka bisa
dimungkinkan dia akan menjadi monster.
Tetapi seseorang yang hanya menggunakan kurang dari 5% definisi dalam hidupnya
maka dia termasuk seseorang yang masih memiliki nurani.
Dalam kenyataan dilapangan,
banyak para pendidik yang menerapkan definisi, maka bila tidak ditanggulangi
dia akan menjadi monster bagi anak didiknya dan intuisi anak lama kelamaan akan
hilang. Maka jangan heran jika akhir-akhir ini ada berita “siswa SD membunuh
adik kelasnya”, itulah salah satu contoh bahwa hilangnya intuisi pada
anak-anak. Padahal pada anak-anak, hamper 100% menggunakan intuisi dalam
kehidupan sehari-hari, bukan dengan cara mendefinisikan terlebih dahulu. Terus
terang inilah tantangan bagi para pendidik yang bisa secara tidak sadar telah
membunuh intuisi anak-anak bahkan juga nurani anak-anak juga dikorbankan yang
notabene dengan dalih untuk untuk mencerdaskan anak.
Intuisi anak didapat
melalui aktifitas, sehingga ia menggali intuisi tersebut dan didapatlah ilmu.
Intuisi dapat juga diperoleh dari pengalaman dan interaksi lingkungan, keluarga
dan masyarakat. Namun tidak diketahui kapan dan dimana mulainya. Maka bisa
dikatakan bahwa “semua harapan dan
keinginan orang tua atau guru yang baik belum tentu benar bagi seorang anak
karena bisa jadi sesuatu yang dianggap baik tersebut akan membunuh intuisi
anak.”
Berangkat dari diskusi
inilah maka kita sebagai seorang pendidik hendaklah dalam pembelajaran
matematika khususnya tetap memperhatikan semua aspek-aspek yang ada, menerapkan
ranah sikap, pengetahuan dan ketrampilan untuk menumbuhkan pendidikan formal
anak namun tanpa mengesampingkan tumbuhnya intuisi pada anak. Karena tujuan
pembelajaran matematika ada 4, yaitu: (a) menelusuri pola dan hubungan, (b)
problem solving, (c) investigasi, dan (d) komunikasi. Dengan tetap berpedoman
tidak mengkerdilkan intuisi siswa maka insya Allah tujuan dari pembelajaran
akan tercapai.
Refferensi
:
Diskusi
Kuliah Prof. Dr.Marsigit, M.A Jumat, 19 September 2014