Kamis, 25 September 2014

INTUISI ANAK YANG TERBUNUH



INTUISI ANAK yang terbunuh
(Refleksi Perkuliahan Kedua Filsafat Ilmu Oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A)


Di sore yang cerah saya sudah menunggu bersama teman-teman untuk mengikuti perkuliahan bersama Prof. Dr. Marsigit, M.A. Akhirnya bapak professor hadir diperkuliahan untuk berbagi olah pikir bersama kami para mahasiswa. Kegiatan perkuliahan diawali dengan pertanyaan jawab singkat. Setelah selesai memberikan pertanyaan dan dinilai maka mulailah masuk ke diskusi olah piker yang kami nantikan.
Pertama yang didiskusikan adalah tentang sesuatu yang tidak dapat didefinisikan, meliputi: panjang, pendek, besar, lurus, lengkung, cinta dan banyak lagi. Jika kami ditanya apa itu pendek, apa itu lurus ternyata kami tidak bias menjawab. Nah, itulah yang disebut pengetahuan yang dimengerti tetapi tidak dapat didefinisikan atau disebut intuisi. Tetapi, pengetahuan yang dimengerti dan dapat didefinisikan disebut formal, contohnya: matematika aksiomatik/matematika murni/matematika perguruan tinggi, misalnya dalam menentukan bilangan prima maka perlu dirumuskan definisi.
Hasil diskusi tersebut maka terbuka pikiran saya bahwa “ada tak berhingga pengetahuan saya yang aku mengerti tetapi aku tidak dapat mendefinisikan dan hanya ada sedikit pengetahuan saya yang saya mengerti hanya melalui definisi”. Berbicara masalah definisi, seorang professor matematika nomor 1 di Indonesia beliau adalah Alm. Prof. Dr. RMGT. Suharso pernah mengatakan bahwa “saya baru menguasahi ilmu matematika sebesar 3% saja.”  Maka walaupun seseorang itu telah dewasa namun masih memiliki intuisi yang besar. Jadi sangatlah tidak mungkin jika seseorang dalam hidupnya akan 100% mengandalkan definisi, karena ia akan menjadi robot. Namun jika seseorang dalam hidupnya selalu menggunakan definisi sebanyak 35 – 50% maka bisa dimungkinkan dia akan menjadi monster. Tetapi seseorang yang hanya menggunakan kurang dari 5% definisi dalam hidupnya maka dia termasuk seseorang yang masih memiliki nurani.
Dalam kenyataan dilapangan, banyak para pendidik yang menerapkan definisi, maka bila tidak ditanggulangi dia akan menjadi monster bagi anak didiknya dan intuisi anak lama kelamaan akan hilang. Maka jangan heran jika akhir-akhir ini ada berita “siswa SD membunuh adik kelasnya”, itulah salah satu contoh bahwa hilangnya intuisi pada anak-anak. Padahal pada anak-anak, hamper 100% menggunakan intuisi dalam kehidupan sehari-hari, bukan dengan cara mendefinisikan terlebih dahulu. Terus terang inilah tantangan bagi para pendidik yang bisa secara tidak sadar telah membunuh intuisi anak-anak bahkan juga nurani anak-anak juga dikorbankan yang notabene dengan dalih untuk untuk mencerdaskan anak.
Intuisi anak didapat melalui aktifitas, sehingga ia menggali intuisi tersebut dan didapatlah ilmu. Intuisi dapat juga diperoleh dari pengalaman dan interaksi lingkungan, keluarga dan masyarakat. Namun tidak diketahui kapan dan dimana mulainya. Maka bisa dikatakan bahwa “semua harapan dan keinginan orang tua atau guru yang baik belum tentu benar bagi seorang anak karena bisa jadi sesuatu yang dianggap baik tersebut akan membunuh intuisi anak.”
Berangkat dari diskusi inilah maka kita sebagai seorang pendidik hendaklah dalam pembelajaran matematika khususnya tetap memperhatikan semua aspek-aspek yang ada, menerapkan ranah sikap, pengetahuan dan ketrampilan untuk menumbuhkan pendidikan formal anak namun tanpa mengesampingkan tumbuhnya intuisi pada anak. Karena tujuan pembelajaran matematika ada 4, yaitu: (a) menelusuri pola dan hubungan, (b) problem solving, (c) investigasi, dan (d) komunikasi. Dengan tetap berpedoman tidak mengkerdilkan intuisi siswa maka insya Allah tujuan dari pembelajaran akan tercapai.

Refferensi :
Diskusi Kuliah Prof. Dr.Marsigit, M.A  Jumat, 19 September 2014