Kamis, 02 Oktober 2014

OLAH PIKIR REFLEKTIF TANPA MEREDUKSI SPIRITUAL



OLAH PIKIR REFLEKTIF TANPA MEREDUKSI SPIRITUAL
(Refleksi Perkuliahan Ketiga Filsafat Ilmu Oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A)


Di sore itu tanggal 26 September 2014 tepatnya hari Jum’at di gedung lama pascasarjana UNY ruang 106A kami mahasiswa pascasarjana pendidikan matematika P2TK sedang mengikuti diskusi dan olah pikir bersama Prof. Dr. Marsigit, M.A. Awal diskusi selalu dimulai dengan pertanyaan jawab singkat. Pertanyaan berkisar pada filsafat dan istilah fisafat, seperti apa filsafatnya gunung, api, bumi, beda, tidak sama dan banyak lagi yang jumlah soalnya 50 butir.
Selalu dalam diskusi kuliah filsafat ilmu dibuka dengan tanya jawab. Yang patut digaris bawahi adalah bahwa berfilsafat adalah olah pikir reflektif, maksudnya orang tersebut dapat menjawab pertanyaan kenapa? Tetapi dalam dimensi yang lebih tinggi maka “tidaklah engkau dikatakan berfilsafat jika engkau tidak merefer atau merujuk pikiran para filsuf.” Padahal menurut filsuf termasyur, Emmanuel Khan berkata: ”tidaklah pernah aku dikatakan berilsafat, aku cuma sedang, baru, akan mempelajari.” Maka dapat dikatakan bahwa “sebenar-benarnya filsuf adalah dia yang mengaku belum berfilsafat.”
Dari segi filsafat, manusia juga mempunyai masalah karena masih hidup di dunia yang selalu kontradiksi, karena masalah itu meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Karena kontradiksi maka bukan identitas yang berarti aku ≠ aku karena aku = aku hanya dalam pengandaian atau terjadi di akhirat. Karena berbeda itulah maka kita berilm, karena ilmu pengetahuan itu berawal dari kategorisasi, contoh: besar kecil, langit bumi, panas dingin dan lain-lain.
Dalam hidup manusia tidak lepas dari yang namanya takdir (fatal), namun menurut filsafat takdir (fatal) terjadi setelah ikhtiar (vital). Sebagai contoh bahwa seseorang berikhtiar mengambil minum yang mana orang tersebut ditakdirkan untuk minum. Jadi seseorang ditakdirkan minum namun jika tanpa ikhtiar mengambil gelas berisi air maka takdir tersebut tidak jadi minum. Dalam bahasa filsafat ikhtiar (vital) adalah takdir (fatal) itu sendiri.
Seorang tokoh filsul terkenal yang bijaksana dan cerdas, yaitu Plato menggunakan metode Dialektisisem, yaitu mengajukan terus pertanyaan dan pertanyaannya tidak bisa dijawab. Akhirnya dia member kesimpulan bahwa “sebenar-benarnya diriku tidak dapat mengetahui apapun, karena ikhlas maka orang yang mengaku tidak mengetahui apapun sebenarnya dia mengetahui banyak sebaliknya orang yang mengaku mengetahui banyak sebenarnya ia hanya mengetahui sedikit.”
Namun jika filsafat dihubungkan dengan spiritual maka dapat dijabarkan dengan bahasa analog bahwa filsafat itu pikiran dan spiritual itu hati. Jika diurutkan maka spiritual menduduki peringkat tertinggi, berikutnya pikiran lalu ucapan berikutnya tulisan dan terakhir adalah tindakan. Maka perlu digaris bawahi bahwa sehebat-hebatnya pikiran apakah mampu memikirkan semua spiritualnya, ternyata tidak. Walaupun pikiran bisa banyak (pararel) dan ucapan itu terbatas (seri) maka janganlah sekali-kali mereduksi atau melemahkan/mengurangi makna yang ada hubungannya dengan spiritual tetapi pikiran kita harus mendukung spiritual. Karena sopan dan santun dalam berfilsafat adalah yang mengandung spiritual.
Dalam diskusi kami dengan Prof. Dr. Marsigit, M.A. maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam berfilsafat menggunakan pendekatan hati dan pikiran karena objek filsafat adalah yang ada dan yang tidak ada. Metodenya intensif dan ekstensif dalam sedalam-dalamnya, luas seluas-luasnya sesuai ruang dan waktunya. Alatnya menggunakan bahasa analog, ciri-cirinya menembus ruang dan waktu. Namun harus ditandaskan bahwa berfilsafat menurut orang barat untuk mengejar kebenaran tetapi orang timur berfilsafat untuk mengejar kesempurnaan dalam hal ini kesempurnaan hidup maka jangan sekali-kali mereduksi spiritual jika kita berfilsafat.

Refferensi :
Diskusi Kuliah Prof. Dr. Marsigit, M.A  Jumat, 26 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar