OLAH PIKIR REFLEKTIF TANPA MEREDUKSI SPIRITUAL
(Refleksi Perkuliahan Ketiga Filsafat Ilmu Oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A)
Di sore itu tanggal 26
September 2014 tepatnya hari Jum’at di gedung lama pascasarjana UNY ruang 106A
kami mahasiswa pascasarjana pendidikan matematika P2TK sedang mengikuti diskusi
dan olah pikir bersama Prof. Dr. Marsigit, M.A. Awal diskusi selalu dimulai
dengan pertanyaan jawab singkat. Pertanyaan berkisar pada filsafat dan istilah
fisafat, seperti apa filsafatnya gunung, api, bumi, beda, tidak sama dan banyak
lagi yang jumlah soalnya 50 butir.
Selalu dalam diskusi kuliah
filsafat ilmu dibuka dengan tanya jawab. Yang patut digaris bawahi adalah bahwa
berfilsafat adalah olah pikir reflektif,
maksudnya orang tersebut dapat menjawab pertanyaan kenapa? Tetapi dalam dimensi
yang lebih tinggi maka “tidaklah
engkau dikatakan berfilsafat jika engkau tidak merefer atau merujuk pikiran
para filsuf.” Padahal menurut filsuf termasyur, Emmanuel Khan berkata: ”tidaklah pernah aku dikatakan
berilsafat, aku cuma sedang, baru, akan mempelajari.” Maka dapat
dikatakan bahwa “sebenar-benarnya
filsuf adalah dia yang mengaku belum berfilsafat.”
Dari segi filsafat, manusia
juga mempunyai masalah karena masih hidup di dunia yang selalu kontradiksi,
karena masalah itu meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Karena kontradiksi
maka bukan identitas yang berarti aku ≠ aku karena aku = aku hanya
dalam pengandaian atau terjadi di akhirat. Karena berbeda itulah maka kita
berilm, karena ilmu pengetahuan itu berawal dari kategorisasi, contoh: besar
kecil, langit bumi, panas dingin dan lain-lain.
Dalam hidup manusia tidak
lepas dari yang namanya takdir (fatal), namun menurut filsafat takdir (fatal)
terjadi setelah ikhtiar (vital). Sebagai contoh bahwa seseorang
berikhtiar mengambil minum yang mana orang tersebut ditakdirkan untuk minum. Jadi
seseorang ditakdirkan minum namun jika tanpa ikhtiar mengambil gelas berisi air
maka takdir tersebut tidak jadi minum. Dalam bahasa filsafat ikhtiar (vital)
adalah takdir (fatal) itu sendiri.
Seorang tokoh filsul
terkenal yang bijaksana dan cerdas, yaitu Plato menggunakan metode Dialektisisem,
yaitu mengajukan terus pertanyaan dan pertanyaannya tidak bisa dijawab. Akhirnya
dia member kesimpulan bahwa “sebenar-benarnya
diriku tidak dapat mengetahui apapun, karena ikhlas maka orang yang mengaku
tidak mengetahui apapun sebenarnya dia mengetahui banyak sebaliknya orang yang
mengaku mengetahui banyak sebenarnya ia hanya mengetahui sedikit.”
Namun jika filsafat
dihubungkan dengan spiritual maka dapat dijabarkan dengan bahasa analog bahwa
filsafat itu pikiran dan spiritual itu hati. Jika diurutkan maka spiritual menduduki
peringkat tertinggi, berikutnya pikiran lalu ucapan berikutnya tulisan dan
terakhir adalah tindakan. Maka perlu digaris bawahi bahwa sehebat-hebatnya pikiran apakah mampu memikirkan semua
spiritualnya, ternyata tidak. Walaupun pikiran bisa banyak (pararel)
dan ucapan itu terbatas (seri) maka janganlah sekali-kali mereduksi atau melemahkan/mengurangi
makna yang ada hubungannya dengan spiritual tetapi pikiran kita harus mendukung
spiritual. Karena sopan dan santun dalam berfilsafat adalah yang mengandung
spiritual.
Dalam diskusi kami dengan
Prof. Dr. Marsigit, M.A. maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam berfilsafat menggunakan
pendekatan hati dan pikiran karena objek filsafat adalah yang ada dan yang
tidak ada. Metodenya intensif dan ekstensif dalam sedalam-dalamnya, luas
seluas-luasnya sesuai ruang dan waktunya. Alatnya menggunakan bahasa analog, ciri-cirinya
menembus ruang dan waktu. Namun harus ditandaskan bahwa berfilsafat menurut
orang barat untuk mengejar kebenaran tetapi orang timur berfilsafat untuk
mengejar kesempurnaan dalam hal ini kesempurnaan hidup maka jangan sekali-kali
mereduksi spiritual jika kita berfilsafat.
Refferensi
:
Diskusi
Kuliah Prof. Dr. Marsigit, M.A Jumat, 26 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar